Salah satu dari semboyannya yaitu Tut Wuri Handayani artinya “mengikuti dari belakang dengan mempengaruhi” bermakna bahwa jangan berusaha menarik anak didik dari depan. Anak-anak yang masih belajar sebaiknya dibiarkan mencari jalannya sendiri. Semboyan ini digunakan untuk slogan Kementerian Pendidikan Indonesia. Berkat jasanya yang sangat banyak dalam dunia pendidikan, beliau di kukuhkan sebagai pahlawan nasional yang ke-2 oleh Presiden RI, yaitu Sukarno pada 28 November 1959.
Ki Hadjar Dewantara merupakan aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia sosok yang patut dikenang atas perjuanganya di bidang politik dan pendidikan. Sosoknya sering dipandang masyarakat sebagai perintis pendidikan di Indonesia
Nama Ketika Lahir Raden Mas Soewardi Soerjaningrat
Ki Hadjar Dewantara lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1889, Putra dari Gusti Pangeran Haryo Soerjaningrat cucu Sri Paku Alam III. Beliau merupakan bangsawan Jawa dari keluarga bangsawan Pakualaman di Yogyakarta. Beliau mengganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara karena ingin menanggalkan gelar kebangsawanan yaitu “Raden Mas”. Sehingga, beliau akan menjadi lebih dekat dengan masyarakat.
Melanjutkan Sekolah Pendidikan Dokter
Ki Hajar Dewantara menamatkan sekolah di ELS yakni Sekolah dasar untuk Anak-anak Eropa, lalu melanjutkan ke sekolah guru (kweekschool). Mendapatkan tawaran beasiswa dari Dr Wahidin untuk pindah ke sekolah STOVIA (School Tot Opleiding Voor Inlandsche Artsen) biasa disebut Sekolah Dokter Jawa. Namun karena kondisi kesehatan, beliau tidak tamat dari sekolah ini.
Kehidupan Pribadi Ki Hadjar Dewantara
Ki Hadjar Dewantara menikah dengan Nyi Sutartinah, wanita yang akan dikenal dengan nama Nyi Hajar Dewantara. Sutartinah merupakan anak dari Pangeran Sasraningrat yaitu adik kandung Pangeran Suryaningra (Ayah dari Ki Hajar Dewantara). Ki Hadjar Dewantara menikah dengan sepupunya sendiri dengan cara perjodohan.
Penjodohan mereka dilandasi oleh suatu keyakinan yang berasal dari keluarga Ki Hadjar Dewantara. lebih tepatnya berasal dari Ibunya yaitu Dyah Ayu Suryaningrat yang merupakan keturunan kelima, Nyai Ageng Serang, seorang pahlawan wanita di zaman Diponegoro. Beliau merasa mengemban amanat leluhurnya yakni kelak harus ada keturunannya yang menjalin perkawinan dengan keturunan pangeran Diponegoro. Terpilihlah Sutartinah sebagai calon istri yang merupakan keturunan dari pangeran Diponegoro.
Dunia Politik Ki Hadjar Dewantara
Beliau mengawali perjuangan politik dari dunia jurnalistik, saat berkarir di jurnalistik beliau bertemu dengan Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudhi rekan dalam mengelolah harian De Expres. Bersama Douwes Dekker dan dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, beliau juga mendirikan Indische Partij mereka bertiga akhirnya dikenal dengan nama “Tiga Serangkai”. Beliau juga menulis tulisan dengan judul Als Ik Eens Nederlander was (andaikan aku seorang Belanda) dimuat dalam surat kabar De Expres 13 Juli 1913. Tulisan ini merupakan reaksi dari beliau terhadap rencana pemerintah Belanda untuk mengadakan perayaan 100 tahun kemerdekaan mereka dari penindasan Perancis yang akan dirayakan pada bulan November 1913. Akibat dari tulisan ini beliau bersama dengan Doewes Dekker dan dr. Tjipto Mangoenkoesoemo diasingkan ke Belanda.
Bapak Pendidikan Nasional
Ki Hajar Dewantara selalu mengusahakan agar pendidikan yang didapat bisa setara, antara pribumi Indonesia dan penduduk kolonial Belanda pada zaman penjajahan. Pada 3 Juli 1922, beliau mendirikan Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa). Perguruan ini merupakan lembaga pendidikan yang didirikan untuk kaum pribumi.
Perguruan ini menerapkan sistem pembelajaran dengan cara informal yang artinya menekankan keterampilan tradisional dan nilai-nilai kehidupan, terutama pada musik dan tarian tradisional. Sistem yang dibuat Ki Hadjar Dewantara menghasilkan keuntungan untuk rakyat Indonesia. Selain masyarakatnya menjadi terdidik beliau juga menciptakan sistem pembelajaran berbasis kebudayaan agar dapat mempertahankan budaya asli dari Indonesia.
Tiga Semboyan dari Ki Hajar Dewantara
Pertama, Ing Ngarso Sung Tulodo artinya bahwa, Seorang pendidik didepan harus mampu memberikan teladan atau contoh bagi anak didiknya.
Kedua, Ing Madyo Mangun Karso artinya bahwa, di antara murid didiknya, pendidik harus mampu memberikan inspirasi dan motivasi bagi anak didik.
Ketiga, Tut Wuri Handayani berarti bahwa, jangan berusaha menarik anak didik dari depan. Anak-anak yang masih belajar sebaiknya dibiarkan mencari jalannya sendiri
Komentar
Posting Komentar